Minggu, 15 April 2012

Menyikapi Mahalnya Biaya Penyelenggaraan Pilkada

Assalamu’alaikum wr.wb.
Salam blogger untuk kita semua. Pada kesempatan kali ini saya akan mengulas sedikit tentang biaya penyelenggaraan pilkada yang tidak murah di Indonesia. Sistem pemilihan umum kepala daerah “Pilkada’ masih mencari bentuknya. Tahun ini, penyelenggaraan pilkada di 214 daerah tidak luput dari berbagai persoalan. Masalah itu mulai dari anggaran pilkada, pembentukan Panitia Pengawas Pilkada, penyelenggara pilkada yang tidak independen, kerusuhan massa, hingga pembatalan kemenangan calon kepala daerah terpilih oleh Mahkamah Konstitusi.
Biaya penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang relatif tinggi memicu terjadinya tindakan korupsi yang melibatkan sejumlah pihak seperti gubernur, bupati dan wali kota serta jajarannya. Biaya Pilkada pada satu daerah mencapai hingga puluhan miliar rupiah, sehingga bila berhasil menduduki jabatan kepala daerah itu, maka praktek kolusi, korupsi dan nepotisme terpaksa dilakukan untuk menutupi utang pihak ketiga (balik modal).
Kiranya terdapat kurang lebih 158 kepala daerah di Indonesia (gubernur, bupati dan wali kota) yang menjadi tersangka akibat terlibat dalam kasus tindak pidana korupsi. Praktek korupsi yang melibatkan kepala daerah seperti menjadi makin meraja lela, karena melibatkan 158 dari 524 pejabat ( gubernur - bupati - wali kota) di Indonesia wow lebih dari seperempatnya mungkin sudah cukup buruk. Itu pun berpeluang jumlahnya akan terus bertambah bertambah karena jumlah yang tersebut di atas hanya yang telah keluar izin pemeriksaan dari Presiden.
Pada awal tahun, persiapan pelaksanaan pilkada diwarnai dengan banyak masalah. Sebut saja anggaran pilkada yang mendera hampir semua daerah. Permasalahan muncul karena anggaran yang diajukan KPU daerah tidak disetujui DPRD dan pemerintah daerah. Masalah anggaran ini akhirnya berdampak pada kelancaran tahapan penyelenggaraan pilkada yang disusun KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota.
Persoalan persiapan pilkada yang tidak berjalan mulus masih ditambah dengan problem yang berkaitan dengan pembentukan Panwas Pilkada. KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) berseteru mengenai pembentukan Panwas Pilkada. KPU menginginkan pembentukan Panwas Pilkada melewati proses seleksi yang sesuai Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Sebaliknya, Bawaslu menginginkan Panwas Pemilu otomatis menjadi Panwas Pilkada.
Jual beli suara dan kerusuhan pun tak terhindarkan lagi demi “berjayanya” sang calon pada ajang pemilihan tersebut, dan hal ini menjadi isu yang harus diselesaikan akar permasalahannya. Dengan demikian pelaksanaan Pilkada sangat mahal, sehingga pemilihan umum di tingkat provinsi, kabupaten dan kota itu perlu dikaji untuk disempurnakan pelaksanaannya, seiring dengan kemampuan dan tingkat kesadaran politik masyarakat.
Jika kondisi ekonomi dan politik masyarakat Indonesia sudah mapan, yakni tidak lagi mempernjualbelikan suara dalam Pilkada bisa saja sistem Pilkada yang sekarang dapat dilanjutkan kembali.

Prof Windia menjelaskan, partai pemenang Pemilu di daerah yang bersangkutan secara otomatis menjadi gubernur di tingkat provinsi, bupati di tingkat kabupaten dan wali kota di tingkat pemerintah kota.
Sedangkan wakil gubernur, wakil bupati dan wakil wali kota diambil dari kalangan birokrat seperti halnya selama ini untuk jabatan sekretaris provinsi maupun sekretaris Pemkab serta sekretaris pemerintah kota.
Dengan demikian gubernur, bupati dan wali kota hasil Pemilu akan dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawab dengan baik meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tanpa harus berpikir mengembalikan uang yang pernah dikeluarkan saat berjuang "merebut" jambatan gubernur, bupati dan wali kota dalam Pilkada.
"Rupanya gubernur, bupati dan wali kota dalam menjalankan tugasnya ingin mengembalikan dana yang pernah dikeluarkan pada Pilkada sebelumnya. Hal itu terbukti 50 persen kepala daerah di Indonesia kini tersangkut kasus korupsi," tutur Prof Windia.
Biaya penyelenggaraan pemilihan kepala daerah 2010 mencapai Rp 3,54 triliun. Biaya ini jauh lebih besar daripada pemilu legislatif dan pemilihan legislatif tahun lalu yang berkisar di angka Rp 2 triliun.
Data biaya penyelenggaraan pilkada 2010 itu diungkap Timbul Pudjianto, Direktur Jenderal Bina Administrasi Keuangan Daerah, Kementerian Dalam Negeri, Selasa (6/4). Besar biaya itu masih mungkin bertambah lagi karena, “Dana masih diusulkan untuk proses pemilihan satu putaran saja, dan hanya untuk 244 daerah yang akan menggelar Pemilu Kada tahun ini,” kata Timbul. Seperti yang dikutip koran Tempo.
Beberapa daerah yang telah mengadakan Pemilukada sepanjang 2010 ini harus menelan ‘pil pahit’ dengan rendahnya tingkat pasrtisipasi masyarakat pemilih.  Pada Pemilukada Kota Medan tercatat hanya 35% masyarakat yang ikut memilih.  Di Surabaya hanya 50%,  Trenggalek hanya sekitar 50-60%, Sleman sekitar 70%.  Dan banyak kasus lainnya dimana tingkat partisipasi masyarakat sangat rendah. Dikutip oleh suara pembaruan
Kenapa hal ini bisa terjadi ? diketahui bahwa rendahnya partisipasi politik atau tingginya angka golput berakar dari menurunnya monoloyalitas atau ketergantungan terhadap negara.  Masyarakat menganggap bahwa kehidupan politik tidak melulu berkaitan dengan persoalan pejabat negara.
Monoloyalitas terhadap negara memang bukan ciri kehidupan demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan, keterbukaan dan persamaan hak. Tetapi, tentu ketidakpercayaan terhadap elite-elite politik dan negara merupakan masalah tersendiri dan akan mendatangkan risiko bagi ke hidupan demokrasi.
Pengeluaran besar kandidat itu yang membuat pemerintahan lalu tidak berjalan sebagaimana mestinya. Calon butuh biaya besar, ada pendana yang membiayainya, dan akhirnya mesti ada kompensasi setelah calon itu menang.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syarif Hidayat, mengingatkan, yang juga penting dituntaskan adalah pelaksanaan pilkada yang ditengarai penuh persekongkolan, yang akhirnya hanya akan menghasilkan loyalitas kepada klien politik ketimbang kepada masyarakat.
Pemenang pilkada akan mencari kompensasi atas biaya yang dikeluarkan. Kondisi pascapilkada tetap memburuk. Muncul pemerintah-bayangan, otoritas informal yang berada di luar, tetapi bisa mengendalikan struktur formal pemerintahan. Kondisi ini yang merongrong pemerintahan.
Mungkin masyarakat kita sudah “lelah” dengan janji-janji yang dilontarkan para peserta Pemilukada terdahulu dimana ketika mereka menang, tidak ada satu-pun janji mereka yang direalisasikan kepada masyarakat.  Memudarnya ketergantungan kepada Pemimpin dari parpol itu berubah menjadi hilangnya kepercayaan akibat degradasi kinerja dan moralitas politik yang ditunjukkan para elite.  Jadi, memberi amunisi kampanye dengan janji-janji, hanya akan berbuah popularitas semu dan akan semakin meningkatkan apatisme politik masyarakat di masa depan.
Sekian dari tulisan ini semoga bermanfaat. Terimakasih dan tetap semangat.
Wassalamu’alaikum wr.wb.

Sumber:
http://tuahmanurung.blogspot.com/201...ri-bentuk.html
Forum VivaNews.com
Antara News
Website Hizbut Tahrir Indonesia
Koran Tempo
Suara Pembaruan
http://yahoo.co.id
Gambar: matanews.com

1 komentar:

  1. Apa sebabnya Biaya Pilkada Besar, Karena semuanya SAKIT, Pemimpinnya SAKIT - Wakil Rakyatnya SAKIT, Hukumnya juga SAKIT, makanya Rakyatnya juga ikut SAKIT, semuanya Menghalalkan Segala cara untuk Menang Pilkadanya....dan Rakyatnyapun Siapa yg memberikan Amplop yg besar itulah yg di Pilih, Tidak Peduli itu uang Dari mana, apakah Uang dari Korupsi...Ngerampok...ngga peduli tuh rakyat...makannya biaya menjadi Besar...Padahal kalau para Pengambil Keputusan..Pintar dan Cerdik serta punya Wawasan....Pilkada Tdk akan menjadi Mahal....ngga tau caranya Insya Allah bisa kontak saya, walaupun saya Rakyat Kecil dan Bodoh, bukan hanya bisanya Meng-Kritik saja, Tapi juga Bisa dan Dapat serta Mampu memberikan Solusi / Jalan Keluarnya...amien, semoga bermanfaat..

    BalasHapus