Assalamu’alaikum wr.wb.
Salam blogger
untuk kita semua. Pada kesempatan kali ini saya akan mengulas tentang PSSI dan
sanksi FIFA. Dualisme kepengurusan PSSI bukanlah hal yang tabu lagi terdengar
ditelinga kita, di televisi, web, koran dan majalah semakin hangat
diperbincangkan hai-hari ini menyusul berbagai kejadian yang tidak mengenakan
yang dialami Timnas Indonesia dan PSSI.
Persoalan mencuat
kian tinggi setelah Timnas kala itu kalah dibantai oleh Bahrain dengan skor
10-0 di Bahrain tanpa balas pada Pra-kualifikasi Piala Dunia Brasil 2014 Zona
Asia. 10-0 bagi saya penggila Timnas sejak kecil merasa sangat kecewa dan jujur
saya mengangis kala itu karena menurut saya sepakbola adalah gambaran mini
kehidupan, penuh perjuangan dan sarat emosi dan jika tim kesayangan kalah
dengan selisih gol terlampau banyak anda pasti akan sangat kecewa. Apalagi
dengan menyusul dugaan aksi “main mata” dalam pertandingan tersebut, yang mana
diduga pertandingan tersebut telah direkayasa dengan berbagai fakta janggal dilapangan,
banyak keputusan kotroversial wasit yang sangat merugikan Timnas. Dugaan suap
pada para pemain Timnas dan manajemen pun mencuat karena Bharain membutuhkan
minimal 9 gol untuk lolos ke putaran berikutnya dan ditentukan oleh pertandingan
lainnya. Untung saja Qatar dapat menahan Iran, dan Bahrain pun dipaksa “gigit
jari”. Dari kejadian tersebut FIFA, AFC dan pihak berwenang lainnya langsung
turun tangan membentuk tim investigasi untuk menginvestigasi pertandingan
“janggal” tersebut.
Sanksi jika ada
"permainan" dalam laga itu, yang kini konon tengah diinvestigasi
FIFA, AFC dan pihak berwenang lainnya, adalah satu hal entah sanksi itu kelak
diberlakukan terhadap wasit, penyelenggara, timnas Bahrain, Indonesia, atau
yang lain. Sementara, sanksi lain justru kini bisa jadi menimpa Indonesia,
tepatnya dalam hal ini PSSI, terkait pelanggaran peraturan dan akibat
mengabaikan surat FIFA.
Dalam salah satu laporan Goal.com edisi Indonesia hari ini, berdasarkan
korespondensi redaksi media tersebut dengan FIFA, terungkap bahwa sebuah surat
sudah dilayangkan oleh FIFA kepada PSSI pada 16 Februari 2012 lalu. Intinya,
surat itu berisikan permintaan sekaligus seruan FIFA kepada PSSI, agar tim yang
diturunkan dalam laga melawan Bahrain (Rabu, 29 Februari 2012) adalah tim yang
terbaik.
Lebih jelasnya, seperti isi
surat FIFA, yakni tim (Indonesia) yang diperkuat para pemain yang sebelumnya
sudah tampil di laga kualifikasi PD 2014. Alasan seruan FIFA itu tak lain
adalah masih menentukannya laga tersebut, mengingat posisi runner-up Grup E belum bisa dipastikan, antara
siapa yang bakal lolos mendampingi Iran, apakah Qatar atau Bahrain. Hal
tersebutlah yang dijadikan kambing hitam gagalnya timnas pada ajang tersebut.
Berlanjut dengan itu setelah
gagal merebut Trophy di ajang sepakbola tahunan yang diadakan di Negara
tetangga Brunei Darussalam tersebut Timnas hanya berhasil merebut posisi juara
dua. Dengan fakta bahwa Brunei baru saja mengakhiri masa sanksi dari FIFA,
Brunei bangkit dan mendapatkan kepercayaan diri kembali. Tim
yang dalam sejarah belum pernah mengalahkan Indonesia. Jadi
apakah sanksi FIFA perlu untuk membuat Persepakbolaan Indonesia bangkit dan
mendapatkan kepercayaan diri kembali dan berjaya di Asia Tenggara, Asia bahkan
dunia?.
Kini masalah kian runyam
dengan dualisme PSSI dan dualisme kompetisi mengisyaratkan konflik
yang terjadi di tubuh PSSI belum juga berakhir. Malah, kini Indonesia kembali
terancam mendapat sanksi dari otoritas tertinggi sepakbola dunia, FIFA.
Kecemasan publik sepakbola
Indonesia akhirnya terjadi juga, di mana kini Indonesia memiliki dua induk
organisasi sepakbola. Pertama adalah PSSI pimpinan Djohar Arifin Husin yang
terpilih lewat jalur Kongres Luar Biasa di Solo, Juli lalu.
Satunya lagi adalah La Nyalla
Mahmud Mattalitti. Nyalla terpilih sebagai Ketua Umum PSSI versi Komite
Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI) yang baru menggelar Kongres Luar Biasa
(KLB) di Mercure Hotel, Ancol, Minggu (18/3/2012), sebagai bentuk kekecewaan
mereka terhadap kinerja PSSI yang dinilainya banyak melanggar statuta.
Kondisi ini praktis membuat
publik pecinta sepakbola Indonesia bingung. Mana yang sah di antara mereka?
Jawabannya pun absurd. Pasalnya, masing-masing kubu mengklaim diri atau kubunya
sah.
Di kubu PSSI pimpinan Djohar,
mereka menyatakan bahwa satu-satunya organisasi yang diakui FIFA dan
konfederasi sepakbola Asia, AFC adalah PSSI yang dia pimpin.
Sementara itu, kubu KPSI juga
menyatakan keyakinannya bahwa hasil KLB yang mereka gelar kemarin akan diakui
federasi yang dipimpin Sepp Blatter tersebut. Nyalla selaku ketua umum mengaku
akan segera mengirimkan hasil KLB mereka ke FIFA, bahkan ke badan arbitrase
dunia CAS dan arbitrase KONI. Padahal, sebelumnya gugatan KPSI ke CAS sudah
dijawab dan berujung pada penolakan digelarnya KLB.
Selanjutnya masalah dating dari dualisme kompetisi Sebenarnya,
jika boleh jujur, permasalahan terbesar yang terjadi di sepakbola Indonesia
adalah terpecahnya kompetisi menjadi dua, yakni Indonesian Premier League (IPL)
yang digagas PSSI dan Indonesia Super League (ISL) yang bernaung di bawah KPSI
dan PT. Liga Indonesia. Ini menyebabkan pemain timnas hanya dapat
dihuni oleh pemain-pemain yang bermain di liga “halal” PSSI. Hasilnya pun sudah
dapat kita terka sebelumnya kegagalan demi kegagalan walaupun pemain Timnas
telah berusaha sekuat tenaga mereka untuk mengharumkan nama bangsa , hal
tersebut terjadi karena kompisisi tim yang kurang solid dari segala lini.
kebanyakan pemain terbaik bangsa bermain di liga tandingan PSSI.
Untuk itu, upaya rekonsiliasi
pun diupayakan kubu PSSI agar Indonesia tidak dijatuhi sanksi FIFA. Perlu
diketahui, dalam suratnya Januari lalu, federasi sepakbola tertinggi di dunia
tersebut memberikan tenggat kepada PSSI untuk menyelesaikan konflik sebelum 20
Maret.
Jika hingga tanggal tersebut
tidak juga mendapatkan solusi, besar kemungkinan FIFA akan menjatuhkan sanksi
berupa larangan tampil di kancah internasional. Namun, tidak menutup
kemungkinan juga FIFA akan kembali membentuk Komite Normalisasi (KN) untuk
menyelesaikan kisruh, seperti yang sempat terjadi di era kepemimpinan Nurdin
Halid.
Untuk permasalahan ini, Djohar
menyatakan bila PSSI siap mengakui ISL sebagai kompetisi legal, namun harus
berjalan di bawah kontrol PSSI. Djohar menyatakan kedua kompetisi tersebut akan
berjalan hingga akhir musim untuk kemudian dicarikan jalan keluarnya.
Akhir-akhir ini pun PSSI telah memanggil beberapa pemain yang bermain di liga
tandingan PSSI untuk bergabung dan melakukan seleksi timnas senior yang
dipersiapkan untuk kompetisi di Palestina.
Namun para pemain menyerahkan
keputusan tersebut sepenuhnya kepada klub. Jika klub mengijinkan maka pemain
akan bergabung untuk selesksi jika tidak maka pemain akan tinggal di klub
karena itu dinilai menggangu tim dan jalannya kompetisi liga yang masih
bergulir.
Dan kita tunggu saja semoga
sanksi FIFA tidak sampai “menampar” wajah PSSI dan PSSI seharusnya berbenah dan
bersikap dewasa menyikapi masalah-masalah tersebut serta menyelesaikan konflik
yang ada dengan musyawarah antara kedua pihak yang berselisih, bukan
mementingkan kepentingan segelintir pribadi tetapi demi memajukan
persepakbolaan Indonesia agar kembali berjaya di mata dunia. Indonesia Bisa!
Sekian dari tulisan ini semoga
bermanfaat bagi kita semua dan memberika kita semangat dan motivasi untuk
bersama-sama memajukan persepakbolaan Indonesia. Merah Putih You’ll Never Walk
Alone. Terimakasih
Wassalamu’alaikum wr.wb.
Sumber:
http://beritasatu.com
http://id.goal.com
http://bola.kompas.com
http://okezone.com
http://tempo.co.id
Gambar:
matanews.com
google.co.id
bola.inilah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar