Minggu, 15 April 2012

Di antara PSSI dan Sanksi FIFA

Assalamu’alaikum wr.wb.
Salam blogger untuk kita semua. Pada kesempatan kali ini saya akan mengulas tentang PSSI dan sanksi FIFA. Dualisme kepengurusan PSSI bukanlah hal yang tabu lagi terdengar ditelinga kita, di televisi, web, koran dan majalah semakin hangat diperbincangkan hai-hari ini menyusul berbagai kejadian yang tidak mengenakan yang dialami Timnas Indonesia dan PSSI.
Persoalan mencuat kian tinggi setelah Timnas kala itu kalah dibantai oleh Bahrain dengan skor 10-0 di Bahrain tanpa balas pada Pra-kualifikasi Piala Dunia Brasil 2014 Zona Asia. 10-0 bagi saya penggila Timnas sejak kecil merasa sangat kecewa dan jujur saya mengangis kala itu karena menurut saya sepakbola adalah gambaran mini kehidupan, penuh perjuangan dan sarat emosi dan jika tim kesayangan kalah dengan selisih gol terlampau banyak anda pasti akan sangat kecewa. Apalagi dengan menyusul dugaan aksi “main mata” dalam pertandingan tersebut, yang mana diduga pertandingan tersebut telah direkayasa dengan berbagai fakta janggal dilapangan, banyak keputusan kotroversial wasit yang sangat merugikan Timnas. Dugaan suap pada para pemain Timnas dan manajemen pun mencuat karena Bharain membutuhkan minimal 9 gol untuk lolos ke putaran berikutnya dan ditentukan oleh pertandingan lainnya. Untung saja Qatar dapat menahan Iran, dan Bahrain pun dipaksa “gigit jari”. Dari kejadian tersebut FIFA, AFC dan pihak berwenang lainnya langsung turun tangan membentuk tim investigasi untuk menginvestigasi pertandingan “janggal” tersebut.  
Sanksi jika ada "permainan" dalam laga itu, yang kini konon tengah diinvestigasi FIFA, AFC dan pihak berwenang lainnya, adalah satu hal entah sanksi itu kelak diberlakukan terhadap wasit, penyelenggara, timnas Bahrain, Indonesia, atau yang lain. Sementara, sanksi lain justru kini bisa jadi menimpa Indonesia, tepatnya dalam hal ini PSSI, terkait pelanggaran peraturan dan akibat mengabaikan surat FIFA.
Dalam salah satu laporan Goal.com edisi Indonesia hari ini, berdasarkan korespondensi redaksi media tersebut dengan FIFA, terungkap bahwa sebuah surat sudah dilayangkan oleh FIFA kepada PSSI pada 16 Februari 2012 lalu. Intinya, surat itu berisikan permintaan sekaligus seruan FIFA kepada PSSI, agar tim yang diturunkan dalam laga melawan Bahrain (Rabu, 29 Februari 2012) adalah tim yang terbaik.
Lebih jelasnya, seperti isi surat FIFA, yakni tim (Indonesia) yang diperkuat para pemain yang sebelumnya sudah tampil di laga kualifikasi PD 2014. Alasan seruan FIFA itu tak lain adalah masih menentukannya laga tersebut, mengingat posisi runner-up Grup E belum bisa dipastikan, antara siapa yang bakal lolos mendampingi Iran, apakah Qatar atau Bahrain. Hal tersebutlah yang dijadikan kambing hitam gagalnya timnas pada ajang tersebut.
Berlanjut dengan itu setelah gagal merebut Trophy di ajang sepakbola tahunan yang diadakan di Negara tetangga Brunei Darussalam tersebut Timnas hanya berhasil merebut posisi juara dua. Dengan fakta bahwa Brunei baru saja mengakhiri masa sanksi dari FIFA, Brunei bangkit dan mendapatkan kepercayaan diri kembali. Tim yang dalam sejarah belum pernah mengalahkan Indonesia. Jadi apakah sanksi FIFA perlu untuk membuat Persepakbolaan Indonesia bangkit dan mendapatkan kepercayaan diri kembali dan berjaya di Asia Tenggara, Asia bahkan dunia?.
Kini masalah kian runyam dengan dualisme PSSI dan dualisme kompetisi mengisyaratkan konflik yang terjadi di tubuh PSSI belum juga berakhir. Malah, kini Indonesia kembali terancam mendapat sanksi dari otoritas tertinggi sepakbola dunia, FIFA.
Kecemasan publik sepakbola Indonesia akhirnya terjadi juga, di mana kini Indonesia memiliki dua induk organisasi sepakbola. Pertama adalah PSSI pimpinan Djohar Arifin Husin yang terpilih lewat jalur Kongres Luar Biasa di Solo, Juli lalu.
Satunya lagi adalah La Nyalla Mahmud Mattalitti. Nyalla terpilih sebagai Ketua Umum PSSI versi Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI) yang baru menggelar Kongres Luar Biasa (KLB) di Mercure Hotel, Ancol, Minggu (18/3/2012), sebagai bentuk kekecewaan mereka terhadap kinerja PSSI yang dinilainya banyak melanggar statuta.
Kondisi ini praktis membuat publik pecinta sepakbola Indonesia bingung. Mana yang sah di antara mereka? Jawabannya pun absurd. Pasalnya, masing-masing kubu mengklaim diri atau kubunya sah.
Di kubu PSSI pimpinan Djohar, mereka menyatakan bahwa satu-satunya organisasi yang diakui FIFA dan konfederasi sepakbola Asia, AFC adalah PSSI yang dia pimpin.
Sementara itu, kubu KPSI juga menyatakan keyakinannya bahwa hasil KLB yang mereka gelar kemarin akan diakui federasi yang dipimpin Sepp Blatter tersebut. Nyalla selaku ketua umum mengaku akan segera mengirimkan hasil KLB mereka ke FIFA, bahkan ke badan arbitrase dunia CAS dan arbitrase KONI. Padahal, sebelumnya gugatan KPSI ke CAS sudah dijawab dan berujung pada penolakan digelarnya KLB.
Selanjutnya masalah dating dari dualisme kompetisi Sebenarnya, jika boleh jujur, permasalahan terbesar yang terjadi di sepakbola Indonesia adalah terpecahnya kompetisi menjadi dua, yakni Indonesian Premier League (IPL) yang digagas PSSI dan Indonesia Super League (ISL) yang bernaung di bawah KPSI dan PT. Liga Indonesia. Ini menyebabkan pemain timnas hanya dapat dihuni oleh pemain-pemain yang bermain di liga “halal” PSSI. Hasilnya pun sudah dapat kita terka sebelumnya kegagalan demi kegagalan walaupun pemain Timnas telah berusaha sekuat tenaga mereka untuk mengharumkan nama bangsa , hal tersebut terjadi karena kompisisi tim yang kurang solid dari segala lini. kebanyakan pemain terbaik bangsa bermain di liga tandingan PSSI.
Untuk itu, upaya rekonsiliasi pun diupayakan kubu PSSI agar Indonesia tidak dijatuhi sanksi FIFA. Perlu diketahui, dalam suratnya Januari lalu, federasi sepakbola tertinggi di dunia tersebut memberikan tenggat kepada PSSI untuk menyelesaikan konflik sebelum 20 Maret.

Jika hingga tanggal tersebut tidak juga mendapatkan solusi, besar kemungkinan FIFA akan menjatuhkan sanksi berupa larangan tampil di kancah internasional. Namun, tidak menutup kemungkinan juga FIFA akan kembali membentuk Komite Normalisasi (KN) untuk menyelesaikan kisruh, seperti yang sempat terjadi di era kepemimpinan Nurdin Halid.
Untuk permasalahan ini, Djohar menyatakan bila PSSI siap mengakui ISL sebagai kompetisi legal, namun harus berjalan di bawah kontrol PSSI. Djohar menyatakan kedua kompetisi tersebut akan berjalan hingga akhir musim untuk kemudian dicarikan jalan keluarnya. Akhir-akhir ini pun PSSI telah memanggil beberapa pemain yang bermain di liga tandingan PSSI untuk bergabung dan melakukan seleksi timnas senior yang dipersiapkan untuk kompetisi di Palestina.
Namun para pemain menyerahkan keputusan tersebut sepenuhnya kepada klub. Jika klub mengijinkan maka pemain akan bergabung untuk selesksi jika tidak maka pemain akan tinggal di klub karena itu dinilai menggangu tim dan jalannya kompetisi liga yang masih bergulir.
Dan kita tunggu saja semoga sanksi FIFA tidak sampai “menampar” wajah PSSI dan PSSI seharusnya berbenah dan bersikap dewasa menyikapi masalah-masalah tersebut serta menyelesaikan konflik yang ada dengan musyawarah antara kedua pihak yang berselisih, bukan mementingkan kepentingan segelintir pribadi tetapi demi memajukan persepakbolaan Indonesia agar kembali berjaya di mata dunia. Indonesia Bisa!
Sekian dari tulisan ini semoga bermanfaat bagi kita semua dan memberika kita semangat dan motivasi untuk bersama-sama memajukan persepakbolaan Indonesia. Merah Putih You’ll Never Walk Alone. Terimakasih
Wassalamu’alaikum wr.wb.

Sumber:
http://beritasatu.com
http://id.goal.com
http://bola.kompas.com
http://okezone.com
http://tempo.co.id

Gambar:
matanews.com
google.co.id 
bola.inilah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar