Assalamu’alaikum wr.wb.
Salam blogger
untuk kita semua. Pada kesempatan kali ini saya akan mengulas sedikit tentang
biaya penyelenggaraan pilkada yang tidak murah di Indonesia. Sistem pemilihan
umum kepala daerah “Pilkada’ masih mencari bentuknya. Tahun ini,
penyelenggaraan pilkada di 214 daerah tidak luput dari berbagai persoalan.
Masalah itu mulai dari anggaran pilkada, pembentukan Panitia Pengawas Pilkada,
penyelenggara pilkada yang tidak independen, kerusuhan massa, hingga pembatalan
kemenangan calon kepala daerah terpilih oleh Mahkamah Konstitusi.
Biaya penyelenggaraan pemilihan
kepala daerah yang relatif tinggi memicu terjadinya tindakan korupsi yang
melibatkan sejumlah pihak seperti gubernur, bupati dan wali kota serta
jajarannya. Biaya Pilkada pada satu daerah mencapai hingga puluhan miliar
rupiah, sehingga bila berhasil menduduki jabatan kepala daerah itu, maka
praktek kolusi, korupsi dan nepotisme terpaksa dilakukan untuk menutupi utang
pihak ketiga (balik modal).
Kiranya terdapat kurang lebih
158 kepala daerah di Indonesia (gubernur, bupati dan wali kota) yang menjadi
tersangka akibat terlibat dalam kasus tindak pidana korupsi. Praktek
korupsi yang melibatkan kepala daerah seperti menjadi makin meraja lela, karena
melibatkan 158 dari 524 pejabat ( gubernur - bupati - wali kota) di Indonesia
wow lebih dari seperempatnya mungkin sudah cukup buruk. Itu pun berpeluang
jumlahnya akan terus bertambah bertambah karena jumlah yang tersebut di atas
hanya yang telah keluar izin pemeriksaan dari Presiden.
Pada awal tahun, persiapan pelaksanaan pilkada diwarnai dengan
banyak masalah. Sebut saja anggaran pilkada yang mendera hampir semua daerah.
Permasalahan muncul karena anggaran yang diajukan KPU daerah tidak disetujui
DPRD dan pemerintah daerah. Masalah anggaran ini akhirnya berdampak pada
kelancaran tahapan penyelenggaraan pilkada yang disusun KPU provinsi atau KPU
kabupaten/kota.
Persoalan
persiapan pilkada yang tidak berjalan mulus masih ditambah dengan problem yang
berkaitan dengan pembentukan Panwas Pilkada. KPU dan Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu) berseteru mengenai pembentukan Panwas Pilkada. KPU menginginkan
pembentukan Panwas Pilkada melewati proses seleksi yang sesuai Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Sebaliknya, Bawaslu
menginginkan Panwas Pemilu otomatis menjadi Panwas Pilkada.
Jual beli suara
dan kerusuhan pun tak terhindarkan lagi demi “berjayanya” sang calon pada ajang
pemilihan tersebut, dan hal ini menjadi isu yang harus diselesaikan akar
permasalahannya. Dengan demikian pelaksanaan Pilkada sangat
mahal, sehingga pemilihan umum di tingkat provinsi, kabupaten dan kota itu
perlu dikaji untuk disempurnakan pelaksanaannya, seiring dengan kemampuan dan
tingkat kesadaran politik masyarakat.
Jika kondisi ekonomi dan
politik masyarakat Indonesia sudah mapan, yakni tidak lagi mempernjualbelikan
suara dalam Pilkada bisa saja sistem Pilkada yang sekarang dapat dilanjutkan
kembali.
Prof Windia menjelaskan,
partai pemenang Pemilu di daerah yang bersangkutan secara otomatis menjadi
gubernur di tingkat provinsi, bupati di tingkat kabupaten dan wali kota di
tingkat pemerintah kota.
Sedangkan wakil gubernur,
wakil bupati dan wakil wali kota diambil dari kalangan birokrat seperti halnya
selama ini untuk jabatan sekretaris provinsi maupun sekretaris Pemkab serta
sekretaris pemerintah kota.
Dengan demikian gubernur,
bupati dan wali kota hasil Pemilu akan dapat melaksanakan tugas dan tanggung
jawab dengan baik meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tanpa harus berpikir
mengembalikan uang yang pernah dikeluarkan saat berjuang "merebut"
jambatan gubernur, bupati dan wali kota dalam Pilkada.
"Rupanya gubernur, bupati
dan wali kota dalam menjalankan tugasnya ingin mengembalikan dana yang pernah
dikeluarkan pada Pilkada sebelumnya. Hal itu terbukti 50 persen kepala daerah
di Indonesia kini tersangkut kasus korupsi," tutur Prof Windia.
Biaya penyelenggaraan pemilihan kepala daerah 2010 mencapai Rp
3,54 triliun. Biaya ini jauh lebih besar daripada pemilu legislatif dan
pemilihan legislatif tahun lalu yang berkisar di angka Rp 2 triliun.
Data biaya
penyelenggaraan pilkada 2010 itu diungkap Timbul Pudjianto, Direktur Jenderal
Bina Administrasi Keuangan Daerah, Kementerian Dalam Negeri, Selasa (6/4).
Besar biaya itu masih mungkin bertambah lagi karena, “Dana masih diusulkan
untuk proses pemilihan satu putaran saja, dan hanya untuk 244 daerah yang akan
menggelar Pemilu Kada tahun ini,” kata Timbul. Seperti yang dikutip koran
Tempo.
Beberapa daerah yang telah mengadakan Pemilukada
sepanjang 2010 ini harus menelan ‘pil pahit’ dengan rendahnya tingkat
pasrtisipasi masyarakat pemilih. Pada Pemilukada Kota Medan tercatat
hanya 35% masyarakat yang ikut memilih. Di Surabaya hanya 50%,
Trenggalek hanya sekitar 50-60%, Sleman sekitar 70%. Dan banyak
kasus lainnya dimana tingkat partisipasi masyarakat sangat rendah. Dikutip oleh
suara pembaruan
Kenapa hal ini bisa terjadi ? diketahui bahwa
rendahnya partisipasi politik atau tingginya angka golput berakar dari menurunnya
monoloyalitas atau ketergantungan terhadap negara. Masyarakat menganggap
bahwa kehidupan politik tidak melulu berkaitan dengan persoalan pejabat negara.
Monoloyalitas terhadap negara memang bukan ciri kehidupan demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan, keterbukaan dan persamaan hak. Tetapi, tentu ketidakpercayaan terhadap elite-elite politik dan negara merupakan masalah tersendiri dan akan mendatangkan risiko bagi ke hidupan demokrasi.
Monoloyalitas terhadap negara memang bukan ciri kehidupan demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan, keterbukaan dan persamaan hak. Tetapi, tentu ketidakpercayaan terhadap elite-elite politik dan negara merupakan masalah tersendiri dan akan mendatangkan risiko bagi ke hidupan demokrasi.
Pengeluaran besar kandidat itu yang membuat
pemerintahan lalu tidak berjalan sebagaimana mestinya. Calon butuh biaya besar,
ada pendana yang membiayainya, dan akhirnya mesti ada kompensasi setelah calon
itu menang.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI), Syarif Hidayat, mengingatkan, yang juga penting dituntaskan adalah
pelaksanaan pilkada yang ditengarai penuh persekongkolan, yang akhirnya hanya
akan menghasilkan loyalitas kepada klien politik ketimbang kepada masyarakat.
Pemenang pilkada akan mencari kompensasi atas
biaya yang dikeluarkan. Kondisi pascapilkada tetap memburuk. Muncul
pemerintah-bayangan, otoritas informal yang berada di luar, tetapi bisa
mengendalikan struktur formal pemerintahan. Kondisi ini yang merongrong
pemerintahan.
Mungkin masyarakat kita sudah “lelah” dengan
janji-janji yang dilontarkan para peserta Pemilukada terdahulu dimana ketika
mereka menang, tidak ada satu-pun janji mereka yang direalisasikan kepada
masyarakat. Memudarnya ketergantungan kepada Pemimpin dari parpol itu
berubah menjadi hilangnya kepercayaan akibat degradasi kinerja dan moralitas
politik yang ditunjukkan para elite. Jadi, memberi amunisi kampanye
dengan janji-janji, hanya akan berbuah popularitas semu dan akan semakin
meningkatkan apatisme politik masyarakat di masa depan.
Sekian dari tulisan ini semoga bermanfaat. Terimakasih dan tetap
semangat.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
Sumber:
http://tuahmanurung.blogspot.com/201...ri-bentuk.html
Forum
VivaNews.com
Antara News
Website Hizbut
Tahrir Indonesia
Koran Tempo
Suara Pembaruan
http://yahoo.co.id
Gambar: matanews.com
Apa sebabnya Biaya Pilkada Besar, Karena semuanya SAKIT, Pemimpinnya SAKIT - Wakil Rakyatnya SAKIT, Hukumnya juga SAKIT, makanya Rakyatnya juga ikut SAKIT, semuanya Menghalalkan Segala cara untuk Menang Pilkadanya....dan Rakyatnyapun Siapa yg memberikan Amplop yg besar itulah yg di Pilih, Tidak Peduli itu uang Dari mana, apakah Uang dari Korupsi...Ngerampok...ngga peduli tuh rakyat...makannya biaya menjadi Besar...Padahal kalau para Pengambil Keputusan..Pintar dan Cerdik serta punya Wawasan....Pilkada Tdk akan menjadi Mahal....ngga tau caranya Insya Allah bisa kontak saya, walaupun saya Rakyat Kecil dan Bodoh, bukan hanya bisanya Meng-Kritik saja, Tapi juga Bisa dan Dapat serta Mampu memberikan Solusi / Jalan Keluarnya...amien, semoga bermanfaat..
BalasHapus