Assalamu’alaikum wr.wb.
Salam blogger untuk kita semua. Pada kesempatan kali ini saya akan
mengulas sedikit tentang korupsi di Indonesia tercinta ini. Pertama-tama kita
awali dengan pengetahuan singkat tentang korupsi, Apa sih korupsi itu?. Korupsi dalam
bahasa Latin: corruptio
dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok.
Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi
maupun pegawai negeri,
yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka
yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan
kepada mereka.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana
korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sebagai berikut:
- perbuatan melawan hukum;
- penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
- memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
- merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
Selain itu terdapat beberapa jenis tindak
pidana korupsi yang lain, di antaranya:
- memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
- penggelapan dalam jabatan;
- pemerasan dalam jabatan;
- ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
- menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi
politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntugan pribadi. Semua
bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya
korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh
dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi
berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan
oleh para pencuri, dimana
pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Kita
kembali ke topik permasalahan sebelumnya, untuk mengurai persoalan mengapa
korupsi di Indonesia sulit diberangus. Hal itu lantaran korupsi sudah dilakukan
secara berjamaah. Kenapa kasus-kasus korupsi saat ini tidak bisa diberantas?
Karena yang melakukan korupsi itu saat ini bukan lagi orang per orang,
melainkan sudah dilakukan oleh rezim. Modus korupsi yang lazim dan banyak
dilakukan biasanya dengan cara memanipulasi anggaran. Misalnya saja, harga
handphone Rp1 juta, tapi ditulis dalam anggaran Rp3 juta, Rp2 juta dibagi-bagi
untuk kepentingan sendiri. Lalu ketika anggaran turun, handphone yang dibeli
tidak seharga Rp1 juta, tapi Rp500 ribu. Sisanya dimakan sendiri. Begitulah
kira-kira korupsi di Indonesia ini.
Beragam alasan timbul untuk melakukan
tindakan korupsi. Salah satunya adalah keluarga, sebagai pemicu seseorang
melakukan tindakan korupsi. Tuntutan (materi khususnya) dari salah satu pihak
keluarga,berpeluang besar dalam pembulatan tekad seseorang untuk
melakukan tindakan korupsi. Misalnya tuntutan anak kepada orang tuanya yang
kebetulan adalah seseorang yang mempunyai cukup syarat untuk melakukan tindakan
korupsi di lingkungan tempat kerjanya. Atau tuntutan dari istri kepada
suaminya, atau bahkan dari seorang ayah kepada anaknya.
Dinamika
Struktural Korupsi di Indonesia, diantaranya:
·
Uang pelancar: sogokan kecil, ungkapan terima kasih,
dan berbagai keuntungan yang diperoleh untuk memperoleh layanan dan
perlindungan dasar dari elemen pemerintah, misalnya pengurusan dokumen-dokumen,
layanan listrik dan telekomunikasi, urusan pertanahan dan sewa-menyewa, urusan
visa dan keimigrasian, perpajakan dan bea, hingga saat menerima gaji yang
dibayarkan oleh pemerintah.
·
Pengalihan sistem hukum: praktik penyogokan hakim,
penuntut dan petugas peradilan. Pada tahun 1999, seorang pengacara senior di Jakarta
mengatakan bahwa lebih dari 90% kasus peradilan dihasilkan dari hakim, jaksa
penuntut, dan petugas peradilan lain terkait dengan praktik suap.
·
Pembayaran tugas-tugas eksekutif level-tinggi: untuk
mendapatkan lisensi, kontrak, dan sebagainya.
·
Penggunaan koneksi-koneksi politik: untuk memperlancar
kesempatan dalam sebuah persaingan, perlakuan hukum, dan upaya mengelak dari
kewajiban melalui praktik transaksional di kalangan mereka yang “terhubung”
dengan kekuasaan politik.
Dalam
perspektif budaya, terminologi korupsi di Indonesia, sebenarnya adalah hal yang
baru. Terminologi ini tercatat pertama kali dalam birokrasi pemerintahan di
Indonesia sejak masa pemerintahan kolonial Belanda (di akhir abad ke-16).
Pada masa
itu, Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), asosiasi dagang Belanda
dicurigai telah melakukan berbagai praktik korupsi yang akhirnya membawa
kebangkrutan asosiasi dagang tersebut. Setelah reformasi politik 1998, praktik
korupsi di Indonesia sering pula diasosiasikan dengan praktik kolusi dan
nepotisme, dalam akronim popular KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme).
Beberapa kasus korupsi saat ini
sedang marak dari kasus pajak Gayus sampai kasus wisma atlet sea games yang
masih bergulir bak bola panas ini mmbuat kita semua bertanya-tanya. Praktik korupsi di lembaga
legislatif saat ini ditengarai semakin ganas. Politisi instan juga semakin
banyak. Perbaikan partai politik, terutama terkait transparansi keuangan partai
dan pengukuran kinerja kadernya, menjadi jalan utama memperbaiki kondisi Dewan
Perwakilan Rakyat.
Becermin dari kasus korupsi pembangunan wisma atlet
SEA Games di Palembang, Teten menilai, korupsi di DPR sudah amat
memprihatinkan. Dari kasus itu terlihat, anggota DPR ikut mengatur pelaksanaan
proyek di kementerian atau lembaga dan kemudian mendapatkan uang dari kegiatan
itu.
Korupsi di DPR, kata Sebastian, sekarang dilakukan
dengan memborong berbagai proyek di APBN. Sejumlah calo memberikan uang kepada
pejabat di kementerian atau lembaga untuk mendapatkan sejumlah proyek. Uang itu
juga diberikan kepada sejumlah anggota DPR agar mereka menyetujui sejumlah
proyek. Dalam kondisi ini, lelang hanya menjadi formalitas.
Sebagian dari mereka, ada yang sudah jelas-jelas
dinyatakan terkena penyakit dan sedang menjalani pengobatan di beberapa Lembaga
Pemasyarakatan dan sebagian lagi ada yang masih dalam taraf dugaan (suspected)
dan sedang menjalani proses diagnosis. Kendati demikian, tidak menutup
kemungkinan bagi mereka untuk siap-siap menjalani pengobatan pula.
Kanker ganas yang menyerang bagian kepala biasanya
jauh lebih berbahaya, karena di sana terdapat otak yang berfungsi sebagai pusat
pengendali aktivitas kehidupan Begitu juga dengan penyakit korupsi, korupsi
pada bagian kepala, kerugian yang diderita negara bisa mencapai milyaran bahkan
trilyunan rupiah. Sementara korupsi di tingkat telapak kaki mungkin hanya
bernilai recehan, tetapi ibarat penyakit kanker, meski berada di bagian telapak
kaki dan bersifat recehan, jika dibiarkan tetap saja akan membahayakan dan
merugikan. Kebijakan Otonomi Daerah, yang semula bertujuan untuk memberdayakan
masyarakat di tingkat bawah (grass root), malah disinyalir telah semakin
mendorong tumbuh suburnya korupsi di bagian kaki ini. Bahkan tingkat bahayanya
pun hampir sudah bisa menandingi penyakit korupsi di bagian kepala.
Akibat penyakit korupsi yang sudah sangat akut dan
kronis ini, maka tidak mengherankan jika saat ini Indonesia dinyatakan sebagai lima besar negara terkorup di dunia.
Sungguh menjadi ironis, ketika bangsa lain sedang berusaha membangun negaranya
untuk dapat menjadi negara SUPER POWER yang
disegani dan dihormati oleh bangsa lainnya, yang terjadi di Indonesia malah ramai-ramai orang
berkorupsi membentuk negara SUPER CORRUPT.
Untuk menyembuhkan penyakit korupsi yang demikian
parah ini, akhirnya datanglah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi. Kehadiran KPK dapat diibaratkan sebagai Dokter Spesialis
Korupsi dan sebagaimana layaknya seorang Dokter Spesialis, kemampuan dan
komitmennya pasti lebih unggul. Peralatan dan metode yang digunakan pun tidak
lagi menggunakan cara-cara konvensional, dan hasilnya boleh dikatakan tidak
terlalu mengecewakan, setidaknya bisa mengurangi beban penderitaan sang pasien.
Beberapa kasus yang telah disebutkan di atas, diantaranya merupakan hasil
diagnosis dan kerja keras dari KPK, sang Dokter Spesialis Korupsi ini.
Mungkin karena usianya relatif masih muda,
langkah-langkah yang diambil sang Dokter Spesialis Korupsi ini pun tampaknya
belum bisa menjangkau seluruh bagian tubuh, baru bagian-bagian tubuh tertentu
saja. Andaikan Dokter Spesialis Korupsi ini terus bergerak melakukan kiprahnya
secara konsisten, maka hampir bisa dipastikan ke depannya akan semakin banyak
ditemukan bagian-bagian tubuh yang terjangkiti penyakit, baik yang berada di bagian
kepala, perut, maupun telapak kaki, dan orang-orang yang perlu dirawat pun akan
semakin bertambah. Semoga saja Pemerintah tidak bersikap setengah setengah
dalam menanggulangi masalah besar ini dan pada akhirnya Indonesia bersih dari
korupsi dan hilang dari cap negara korup. Sekian dari tulisan ini. Terimakasih.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
Sumber:
Wikipedia.com
Okezone.com
Detik.com
Kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar